Kamis, 22 Oktober 2009

Surat Cinta Untuk Lingkungan

Ku ucapkan salam rindu dan cintaku kepada mu, engkau begitu anggun, begitu indah, wajahmu selalu berseri saat tersenyum dan dua lesung pipit yang semakin menambah indah raut wajahmu serta hiasan tahi lalat yang semakin menambah cantiknya dirimu di kala itu. Setidaknya itulah kisah tentang dirimu yang pernah aku dengar dari kakek dan nenek ku semasa meninabobokan diriku yang masih lemah, lugu dan perlu perlindungan. Kakek dan nenekku tiada henti menceritakan tentang kisah mu, kisah yang mengantar tidurku di masa kecil dulu, di masa kanak-kanakku. Cerita tentang hijaunya dirimu, tentang segarnya udaramu dan riang gembiranya para binatang yang menjadi tokoh-tokoh di dalam alurnya dimana aku merasa diriku berada di antara mereka, para binatang yang berlakon di dalam dogeng tersebut. Aku membayangkan kicau burung-burung di pagi hari di saat mentari menampakkan senyum merahnya di ufuk timur. Aku membayangkan lincahnya tupai-tupai yang berlompatan di pepohonan sembari menghindari gangguan para monyet dan orang utan yang bergelantungan. Aku juga membayangkan ikan-ikan yang menari-nari di dalam sebuah danau yang jernih bahkan seekor labi-labi pun tak bias menyembunyikan diri dari pandanganku saat itu dan aku juga terhanyut di dalam kebisingan rimba raya yang bernyanyi melantunkan puji-puji bagi Nya.
Itulah kisah tentang ketentraman dan kedamaian yang sering ku dengar di masa kecilku. Di sana tidak ada kecurangan, tidak ada kemiskinan, tidak ada korupsi, tidak ada juga pemimpin namun mereka hidup rukun dan damai. Si buaya yang berniat jahat hendak memangsa hewan lain tidak pernah diadili apalagi dijatuhi hukuman. Si kancil dengan segala kepintarannya berhasil mengelabui buaya tersebut juga tidak pernah dianggap sebagai pembohong dan tidak juga serta-merta diangka sebagai pemimpin. Kenapa? Karena di sana tidak ada lembaga peradilan , tidak ada undang-undang, dan di sana juga tidak terdapat ambisi untuk menjadi seorang pemimpin. Mereka, tumbuh apa adanya, mereka makan seadanya, mereka minum seadanya, dan mereka tidak pernah menanam kapas atau tidak membuat perkebunan kapas untuk dibuat baju sebab mereka tidak bias membuat baju. Mereka tidak menanam sawit untuk diolah menjadi minyak sebab mereka makan apa adanya, mereka tidak bias membuat makanan yang enak, yang sehat, yang bebas kolesterol atau yang bebas dari unsur-unsur yang dapat merusak kesehatan sebab mereka binatang, mereka hanya tahu apa yang mereka jumpai saja. Mereka tidak punya akal dan pikiran, mereka hanya memiliki naluri dan yang paling penting mereka tak pernah mengancam keberadaan umat manusia. Setidaknya itulah cerita tentang dongeng si Kancil dan Teman-temannya yang slalu ku dengar di masa kecil ku.
Kini cerita itu tak pernah ku dengar lagi seiring telah perginya kakek dan nenek ku menghadap Nya. Aku sungguh saying kepada mereka dan aku juga sungguh hafal dengan dongeng yang mereka ceritakan itu, bahkan titik komanya sekali pun aku masih ingat. “Tapi kenapa aku malu untuk menceritakan dongeng itu kepada adik-adikku?”, apa karena aku takut mereka tidak menyukainya, takut kalau mereka mungkin lebih menyukai kisah kartun seperti Naruto, Doraemon, atau kartun-kartun Jepang lainnya sehingga mereka akan menertawakan diriku dan bilang kalau aku ini kolot. Sesungguhnya ketakutan terbesarku jauh lebih besar dari itu semua. Aku takut kisah ku sudah tidak relevan lagi, sudah tidak sesuai dengan realita kehidupan alam saat ini. Aku takut menceritakan kisah si Kancil sebab aku sendiri belum pernah melihat seperti apa wujud kancil itu, aku takut menceritakan tentang alam yang indah, hijau, air danau yang jernih dan tentang udara yang segar sebab sekarang ini yang ku temui adalah kerusakan-kerusakan alam, udara sudah tidak segar lagi, air danau menjadi keruh, pohon-pohon yang hijau disulap menjadi gedung pencakar langit, sawah-sawah yang menghampar luas menjadi perkebunan sawit, dan orang utan menjadi hewan peliharaan atau pajangan-pajangan di rumah-rumah orang kaya. Hutan yang luas seketika berubah menjadi kota atau perkebunan sawit yang katanya membawa keuntungan bagi rakyat, dapat mensejahterakan rakyat. Itulah sebabnya mengapa aku tak berani menceritakan kisah dongeng si Kancil itu kepada adik-adikku.
Apa mungkin setting ceritanya ku ubah? Apa mungkin ku ceritakan kisah si Kancil dan Buaya yang berlatarbelakang kekotaan? Apa mungkin seekor kancil bisa hidup di kota? Apa mungkin burung-burung bisa betah untuk tinggal dan hinggap di gedung-gedung pencakar langit di kota-kota? Justru jika ku paksakan ceritaku ini (supaya relevan/sesuai dengan realitas hidup sekarang) akan membuat adik-adikku semakin menganggap ku kolot atau bahkan seorang pembual besar yang beraliran ngeramputisme.
Haruskah aku meminta waktu di putar ulang untuk sekedar menceritakan dongeng kesukaan ku ini kepada adik-adikku. Jelas waktu tak mungkin bisa diputar ulang selayaknya sebuah film. Lantas apa yang harus ku perbuat supaya aku bisa menceritakan dongeng itu? Apa aku harus melatih para binatang yang tersisa untuk melawan kaum ku manusia, kaum yang katanya memiliki harkat dan martabat yang lebih tinggi dari daripada si Kancil dan kaumnya? Apa pernah kita melihat seekor orang utan sedang menebang pohon , apa pernah kita melihat para gorilla membuka lahan besar-besaran untuk menanam pisang agar kaumnya bisa sejahtera, apa pernah kita melihat seekor singa menyandang senapan untuk memburu binatang lain agar bisa makan dan mensejahterakan keluarganya? Jawabnya jelas “tidak”. Tidak kah seharusnya kita malu terhadap si Kancil dan kaumnya, sebab mereka terbukti tidak bersalah atas segala kerusakan alam ini.
Mereka sangat merindukan masa-masa indah itu, masa-masa dimana cerita dongeng yang sering ku dengar itu masih relevan, msih sesuai dengan realitas kehidupan yang ada. Wahai alam ku, sungguh aku mohon maaf kepada mu, saat ini bukannya tidak ingin aku menceritakan dongeng itu, dongeng yang bisa membuat mu teringat akan kenangan indah mu, disaat engkau masih cantik, anggun, dan menawan. Namun sekali lagi aku mohon maaf, aku takut ceritaku tidak menarik dan tidak relevan. Aku juga takut di cap sebagai pembual besar jika kuceritaka segala kecantikanmu yang menawan hati itu, sebab aku tahu dan sadar bahwa engkau sekarang ini sungguh berbeda, wajahmu tak cantik lagi, penuh lubang jerawat akibat penambangan emas liar, rambutmu botak ke sana kemari akibat illegal logging, kuku di jari tangan mu panjang dan hitam akibat asap pabrik yang tiada henti, kulitmu keriput dan tubuh mu bau akibat sampah-sampah yang kami taburkan di atas tubuhmu. Sungguh saat ini engaku tak cantik lagi, tapi aku tak berani meninggalkan mu sebab aku takut engkau depresi, stress lalu bunuh diri. Aku dan beberapa orang dari kaum ku berusaha untuk tetap mencintaimu. Kami sungguh ingin melihat mu kembali seperti dulu, anggun, cantik, dan menawan hati supaya aku bisa menceritakan dongeng yang sering diceritakan kakek dan nenek ku kepada adik-adikku. Alamku sungguh aku sangat mencintaimu dan menginginkan mu kembali seperti dulu lagi.

Pontianak, 27 September 2008 Karya : N.D. Rio Parera